12 January 2014

Alasan orang Minang suka merantau

Sumber NKRI harga mati

Apa dan Mengapa Orang Minang Merantau?
Oleh Drs. Mukhlis Denros
Suatu kebiasaan orang Minangkabau yang tidak
mudah dilepaskan begitu saja yaitu merantau
dalam rangka membenahi diri dengan berbagai
pengalaman di daerah lain. Kebiasaan
meninggalkan kampung untuk merantau guna
menuntut ilmu atau untuk mencari kerja
berprestasi di negeri orang untuk perbaikan
hidupnya, disamping untuk pertimbangan
kepentingan kampung halaman. Pandangan hidup
yang demikian itu diungkapkan dalam pepatah
yang berbunyi, ”Karatau madang di hulu, babuah
babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah
paguno balun, satinggi tabang bangau,baliak juo
ka kubangan, sanang bana hiduik di rantau,
takana juo kampuang halaman”.
Ini berarti bahwa selain adanya budaya
pengembangan sumber daya manusia dan usaha
perbaikan kehidupannya sendiri, terkandung pula
keterkaitan dan keterikatan para perantau itu
untuk turut memperbaiki dan meningkatkan taraf
hidup sanak famili dan kampung halamannya
seperti diperkuat oleh pepatah, ”Anak dipangku
kamanakan dibimbiang, urang kampuang
dipatenggangkan”. Dengan demikian peningkatan
kemampuan sumber daya manusia dan budaya
merantau itu masih tetap dapat dipertahankan
dan dikembangkan sejauh hal itu mengandung
unsur manfaat bagi kehidupan dan pembangunan
di kampung halaman.
Merantau itu sudah menjadi darah daging, tidak
saja sekarang malahan sejak nenek moyang kita
dahulu. Kita tidak perlu terlena kalau ditengok di
berbagai kota besar dan kecil di seluruh persada
nusantara ini, bahkan sampai keluar negeri,
pokoknya setiap sudut ada orang Minang.
Konon kabarnya, kalau orang Minang pergi
merantau, bodoh atau bingungnya hanya satu
minggu. Hal tersebut dapat kita buktikan, seperti
di Kota Jakarta atau lainnya, banyak kita jumpai
orang Minang berdagang di kaki lima, pepatah
Minang juga mengatakan,”Bialah tanduak
takubang, asalkan sungu ka makan”[biarlah suara
habis bersorak, asalkan perut kenyang], setelah
bersorak di kaki lima agak seminggu sampai
sebulan akhirnya membuka kios, dari kios menjadi
toko, bahkan sampai pedagang besar.
Tidak hanya masalah pedagang, kendatikan di
rantau mereka bekerja di suatu instansi
pemerintah, lama kelamaan akhirnya kembali ke
daerah, ilmu yang didapat dirantau mereka
terapkan di ranah minang. Berbagai faktor
pendorong yang menjadi urang awak pergi
merantau, disamping menambah ilmu
pengetahuan dan keterampilan ada juga panggilan
rohani atau bakatnya untuk melanglang buana.
Faktor meningkatkan nilai diri salah satunya
dengan merantau, bahwa orang yang tidak pernah
merantau bagi masyarakat pada umumnya
dianggap rendah dan hina, disini faktor harga diri
yang banyak menghanyutkan putra Minang ke
rantau.
Pada saat di awal keberangkatan atau katakanlah
pada saat persiapan segala sesuatunya untuk
bekal di negeri orang, maka tidak jarang pula para
orangtua dan mamak di Minang memberikan
petuah atau nasehatnya seperti sebait pantun ini,
”Elok-elok manyubarang, jan sampai titian patah,
elok-elok di rantau urang, jan sampai babuek
salah”.
Pantun di atas sarat dengan nilai adat dan agama
sebagai bekal seorang calon perantau
melangkahkan kakinya meninggalkan kampung
halaman. Sikap berhati-hati di rantau harus dijaga
jangan sampai melakukan kesalahan. Kesalahan
seorang Minang di rantau sama artinya merusak
nama seluruh Minangkabau,sebait pantun lain
berbunyi, ”Hiu beli belanak beli, ikan panjang beli
dahulu, kawan cara sanakpun cari, induk semang
cari dahulu”.
Artinya sesampai di rantau seorang Minang
berprinsip famili bukan satu tujuan, lebih
diutamakan ialah majikan atau pekerjaan. Boleh
jadi keluarga tempat menetap tapi hanya dalam
waktu sementara, untuk itulah pemuda
Minangkabau mau dan mampu bekerja apa saja
asal jangan membebani keluarga di rantau.
Bagi seorang pemuda Minang yang mewarisi sifat
perantau nenek moyangnya itu, sangat
memperhatikan petuah-petuah tersebut, sehingga
malam dibuat untuk bantal dan siang dibuat untuk
tongkat, maksudnya segala macam nasehat baik
itu akan tetap dipegang teguh pada setiap saat
baik siang maupun malam hari.
Bekal lain yang diberikan orangtua atau mamak
ketika melepas anak atau kemenakannya
merantau adalah sebuah ungkapan manis yang
padat dengan nilai-nilai yang harus dijadikan
suluh dalam perjalanan yaitu,”Laut sati rantau
batuah” dari ungkapan ini mengandung arti yang
dalam.
”Laut sati” adalah bahwa kadangkala daerah atau
rantau yang ditempuh itu bukanlah kota bebas,
namun ada beberapa aturan atau pantangan yang
harus dihindari atau batasan yang tidak boleh
dilanggar. Sedangkan ”Rantau batuah” itu hampir
mirip pengertiannya bahwa rantau/negeri orang itu
selalu mempunyai keistimewaan buat daerahnya.
Jadi antara saru daerah/negeri itu tidaklah sama
adat kebiasaannya dengan daerah lainnya,
sehingga kalau memasuki daerah orang, kita harus
mempelajari terlebih dahulu adat kebiasaan
masyarakatnya dan tidak berbuat sekehendak hati
saja.
baca juga;cerita naruto 602;
Setiap perantau yang berada jauh di negeri orang,
meninggalkan sanak keluarganya dan kampung
halaman,walaupun demikian warnanya sebagai
orang Minang tidak akan berubah. Dimana dan
kemanapun putra Minang merantau, berinteraksi
dengan suku apapun dan berbaur dengan berbagai
lapisan sosial masyarakat, dalam perputaran
zaman dan pengaruh situasi maka warna Minang
tidak pernah luntur. Seorang putra Minang boleh
saja lahir di rantau, dibesarkan dan dididik di
lingkungan perantauan, pun halal saja menemukan
kehidupan di negeri lain, tapi orang Minang tetap
Minang. Bilapun ada bangau yang tidak pulang ke
kubangan dan lupa dengan asalnya, ada orang
Minang yang luntur ke-Minangannya, itu sungguh
suatu pengecualian, sulit mencarinya, barangkali
dalam 10.000 perantau Minang hanya seorang
yang warna Minangnya jadi luntur, mereka boleh
dicap sosok Malin Kundang.
Sehingga wajar kalau orang Minang pada hari-
hari baik, kalau ada kesempatan dan rezeki lapang
berusaha pulang kampung melepas kerinduan
dengan teman bermain dan tepian mandi, setelah
itu kembali lagi ke rantau merambah kehidupan.
Di rantau apapun jabatan dan pekerjaan dilakukan
dengan berhati-hati tak ubahnya di kampung
sendiri karena prinsip ”Dimana bumi dipijak
disinan langik dijunjuang” telah melembaga sejak
dahulu yang diwarisi dari tradisi nenek moyang.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia selama itu
pula akan silih berganti putra-putra Minang
meninggalkan kampungnya mencari pengalaman,
ilmu dan penghidupan di rantau orang. Dimanapun
berada yang dianggap baik tempat menetap oleh
seseorang sama saja, karena bumi Allah ini luas,
lakukanlah sesuatu untuk menuju kemajuan hidup
pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, entah
di Solok atau di Solo, entah di Lampung atau di
Kampung, entah di Merauke atau di Maroko, bukan
jadi penghalang bagi orang Minang untuk
berkiprah.

0 comments:

Post a Comment

tolong berkomentar dengan baik kalau bisa yang bersifat membangun
terima kasih